Haikal dan Re, an excerpt
Cuaca khas Windy
City menyambut Raehan yang baru saja turun dari pesawat. Sesuai nasihat
Haikal, Raehan sudah mengenakan syal merah pemberian kakaknya. Keluar dari luggage
claim, Haikal sudah menunggu dengan dua cup minuman hangat.
Raehan menyeringai,
menghampirinya. "Aku gak suka kopi, sekalipun dari kedai kopi
termahal."
Haikal tertawa, lalu
tetap menyodorkan minuman di tangannya. "Hot cocoa buatanku, resep lama
Bunda. Favoritmu, bukan?"
Dengan mobil Haikal,
mereka menyususri jalan Downtown Chicago, hingga sampai ke Evanston di tepi
kota. Sepanjang perjalanan, Raehan sibuk menatap ke luar jendela. "Kamu
suka?" Tanya Haikal, tersenyum melihat adiknya yang terpesona.
"Aku gak suka
pindah." Semenakjubkan apapun, Raehan tetap pada pendiriannya.
"Besok kita
jalan-jalan." Alis Raehan terangkat, gembira atas kabar tersebut. Tentunya,
Haikal sadar akan itu. "Asal Senin kamu sekolah."
Raehan mengernyit. Ia
tidak pernah suka dengan semua perpindahan ini. Ia senang dengan Jakarta dan
teman-teman lamanya. Namun begitu, Raehan tetap rindu dengan kakaknya. Keluarga
satu-satunya.
Keesokan harinya,
Haikal mengajak Raehan ke Willis Tower, salah satu objek wisata terkenal di
Chicago. Dengan salju tipis yang meneylimuti kota, pemandangan di lantai ke-100
pencakar langit ini semakin menakjubkan. Jalanan tidak seramai biasanya, hanya
beberapa lampu kuning mobil di antara keputihan.
"Tiga tahun, Re.
Habis itu, terserah kamu mau ke mana." Ucap Haikal.
"Lama sekali,
Mas." Raehan tidak mengalihkan pandangan dari kota. Raehan sedang
memerhatikan aktivitas keseharian warga Chicago. Di sebuah taman, terdapat dua
anak kecil yang sedang berlari-larian mengejar satu sama lain. Yang terkecil,
lelaki, jatuh lalu terduduk tidak ingin melanjutkan. Raehan membayangkan
kakaknya yang sedang tersenyum, mengelus pelan kepala adiknya. Kakaknya juga
ikut duduk di atas salju. Mereka mulai membuat snowman, lalu snowangels,
dan akhirnya berdiri lagi untuk mengadakan snowball fight.
Di sisi lain, ada
pasangan yang sedang mesra bergandengan sambil berjalan. Mereka berbincang
dengan penuh tawa canda. Terkadang, sang perempuan memukul bahu lelakinya,
namun tetap dengan tertawa. Raehan membayangkan bagaimana rasanya menjadi
mereka, merasakan sudah memiliki segalanya dengan adanya pasangan yang
menemani. Seakan dunia milik berdua.
Di seberang jalan, ada
seorang wanita berumur yang kesulitan membawa belanjaannya. Lelaki yang sedang
menunggu bus menyadarinya. Ia bangun dari bangku penunggu, lalu menghampiri
wanita tersebut. Mereka mulai berbincang seraya berjalan menuju tempat menunggu
bus yang kini sudah penuh. Seorang perempuan yang kelihatannya baru pulang
kuliah pun berdiri, memberikan tempatnya.
Raehan bersyukur
memiliki mata jelinya yang selalu sibuk memerhatikan lingkungan sekitar.
"Menurutku, kamu
bisa bertahan. Menurutmu?" Pembicaraan Haikal seketika menyadari Raehan
dari lamunannya.
Raehan menatap Haikal,
memikirkan ulang observasinya tadi. Ia mencoba menahan senyuman yang tanpa
sadar sedang berjuang untuk tampil di wajahnya yang diusahakan datar di depan
Mas Haikal. Sejujurnya, Raehan senang atas kota yang kini menjadi rumah
barunya. Tapi, Mas Haikal tidak perlu mengetahui itu.
"Well, it's not
that bad." Jawab Raehan, mengangkat bahu.
"Re, udah telat.
Re. Re."
Raehan mengaduh
kesakitan atas goncangan Haikal pada bahunya. Ia menarik selimutnya, berusaha
tidur kembali. Masih jet-lag rupanya, batin Haikal, tertawa pada
dirinya. "Bangun, Raehan!"
"Apaan sih,
Mas?" Tanya Raehan dengan suara khas bangun tidurnya.
"Kamu sekolah
hari ini. Ayo!" Haikal melepaskan selimut yang dipeluk Raehan.
"Gak mau, aku gak
mau!"
"Harus!"
"Lima menit
lagi!"
"Satu menit lagi
kamu telat!"
"Aku gak mau
mandi!"
"Gak usah
mandi!"
"Maaasss,"
"Reeee,"
"Besok aja
yaa?"
"Today!"
Haikal mengangkat badan Raehan, membuatnya ingin terlepaskan, sehingga terjatuh
di atas kasur. Lalu, Haikal melempari baju tepat ke muka Raehan. Raehan
akhirnya berguling dari kasur, memasuki kamar mandi, menyerah.
"Aku belum
belanja, makan aja ini." Haikal menyodorkan sepiring Pop-tart pada Raehan.
"Biasanya Bunda
juga kasih susu." Keluh Raehan.
"Kamu manja. Di
kulkas ada, itu. Cepat, aku tunggu di mobil."
"Mas Haikal udah
makan?"
"Biasanya beli
depan kampus."
"Mas jangan lupa
makan," Raehan tersenyum. Haikal hanya mengangguk, menahan tertawa atas
usaha perhatian adiknya itu.
"Kamu kenapa,
diam gitu aja?" Tanya Haikal.
"Hmm,"
"Sekolah
menyenangkan,"
"Belajar
menyenangkan."
"Kamu akan
suka."
"Mas tidak
sekolah SMA di sini."
"Aku tahu kamu
akan suka."
"Mas tidak bisa
yakin."
"Kamu
takut?" Raehan tidak menjawab pertanyaannya. Haikal menoleh ke sebelahnya,
adik kesayangannya yang menduduki shotgun. Raehan mengenggam sabuk
pengamannya, memandang keluar jendela.
Haikal tertawa
kencang. "Takut? The Raehan Lunaro Angkasa takut? Hahahahaha,"
"Gak takut,
Mas!"
"Apa dong?"
Goda Haikal, masih dengan sisa ketawa.
"Gak apa-apa. Aku
gak takut. Aku gak tahu di sini cara bikin teman gimana."
Haikal tersenyum.
"Kamu Raehan Lunaro Angkasa. Haruskah aku ulang lagi namamu? Kamu dewa
dalam pertemanan. Semua orang ingin menjadi temanmu."
Raehan tersenyum malu,
memalingkan pandangannya keluar jendela lagi. Ia tidak akan pernah mengakuinya,
namun sejujurnya, ia sangat bersyukur memiliki abang seperti Haikal.
Padmalya S.
There isn't any significant thing I want to say from this story. It just shows there are more to siblings than fighting and bickering.
This story is just a form of entertainment. I enjoyed writing it, and I hope you enjoyed reading it.
Comments
Post a Comment