Bela Negara Bagianku


Seperti semua murid lainnya, Lunaro benci upacara bendera. Berdiri berpanas-panasan untuk waktu yang cukup lama, buat apa? Toh, pahlawan yang dikenang juga tidak tahu kami sedang mengenangnya. Terkadang, ketika upacara, Ro suka berpura-pura sakit, lalu pergi ke UKS. Sejuk, dapat teh hangat, bisa tiduran. Apa yang kurang?
                Pada salah satu kunjungan UKS-nya ini, Lunaro bertemu dengan seseorang yang sedang berbaring di ranjang sebelahnya. Lagu kebangsaan sedang berkumandang, dinyanyikan lantang oleh setiap siswa di lapangan. Orang itu menghela napas. “Keren,” ucapnya, entah kepada diri sendiri.
                “Apa?” Tanya Ro heran. Orang itu berusaha duduk tegak, rasa sakit terlihat di wajahnya. “Eh, nggak usah bangun!”
                Ia menggelengkan kepala, tanda tidak apa-apa. “Suara itu, kamu tidak dengar?”
                “Suara apa?” Sejak tadi hanya ada suara peserta upacara, batin Ro.
                “Mereka melaksanakan upacara.”
                “Iya, seperti setiap Senin, bukan?”
                “Mereka melaksanakan upacara, dan kita tidak.”
                “Apa salahnya?” Ro semakin tidak mengerti dengan orang ini. “Kita sakit.”
                “Dulu, pahlawan jauh lebih sakit berjuang untuk kemerdekaan negeri ini.”
                “Zaman berbeda, kawan.”
                Ia tersenyum. “Namun perasaan tetap sama. Coba aku tebak, kamu nggak pernah ngibarin bendera, ya?”
                “Wah, kok tahu?” Jawab Ro sarkas. “Pasti kamu anak paskibra!”
                “Iya, benar.” Ia tersenyum lebih lebar. “Namamu siapa?”
                “Lunaro. Ro.”
                “Saya Haikal.” Ia menjulurkan tangannya untuk dijabat.
                Satu jam di UKS dihabiskan Haikal untuk bercerita. Haikal satu tahun lebih tua dari Ro, maka sudah menjadi anggota paskibra untuk dua tahun. Haikal begitu senang di paskibra. Ia menceritakan tentang lomba-lombanya, upacara-upacara, serta pelantikan yang dialaminya.
                Haikal berkata, “Walaupun para pahlawan sudah meninggalkan kita, namun semangatnya tetap ada!” Tangannya diancungkan ke udara. “Rasanya beda, Ro, ketika kita di hadapan tiang bendera. Ada perasaan cinta tanah air yang amat kuat, perasaan ingin melakukan apa saja untuk ibu pertiwi. Sesungguhnya, Indonesia tidak seburuk yang orang-orang kira, Ro. Indonesia patut dibanggakan.”
                “Tapi, aku bukan anak paskibra.”
                Dari lapangan, terdengan laporan pemimpin upacara. Upacara telah selesai. Haikal berdiri, memasang kembali sepatunya. “Ro, berjuang untuk negara tidak hanya dengan bendera.” Ro mengikuti Haikal keluar ruangan. “Walaupun itu bentuk jiwa patriotisme yang paling terlihat. Atlit-atlit, mereka juga berjuang untuk negara. Mengharumkan nama bangsa. Biar di tingkat sekolah sekalipun. Mulai kecil, lalu perlahan bersaing di kancah internasional.”
                “Aku juga bukan atlit.”
                “Berlomba-lomba meraih prestasi. Baik dari segi otak kiri, ataupun otak kanan. Seseorang bisa menulis tentang Indonesia, mempublikasikannya, sehingga mengenalkan kesungguhan negeri pada dunia.”
                Ro menggeleng. “Aku tidak punya bakat, tidak bisa melakukan apa-apa untuk membanggakan diri sendiri, keluarga, apalagi negara.”
                Haikal menepuk bahu Ro. “Semua orang punya bakat, Ro. Kamu hanya belum menemukannya.”
                “Lalu aku harus apa? Berdiam diri di saat semua orang pergi membela negara?”
                “Kamu bisa menghargai upacara yang sedang dilaksanakan.”
                Lunaro bertanya, “Sebentarnya upacara itu untuk apa, Kak Haikal?”
                Haikal amat senang atas pertanyaan itu. Itulah bidangnya. “Benar kata orang, untuk mengenang jasa para pahlawan.”
                Lunaro tidak puas. “Tapi bukan hanya itu, ‘kan? Pasti ada alasan lain yang membuat Kak Haikal se-semangat itu untuk upacara.”
                “Tentu!” Haikal senang sekali membicarakan ini. Sampai-sampai, ia sudah bercerita kepada teman-temannya ratusan kali. Tanya saja, mereka sudah hafal.
Haikal mengingat pekan lalu, upacara dalam rangka memperingati Hari Pahlawan. Pagi itu, bukan Haikal yang mengomandokan aba-aba. Bukan pasukan Haikal yang membawa bendera. Bukan angkatan Haikal yang mengenakan PDU, pakaian dinas upacara. Ialah adik-adiknya. Dengan ujian nasional yang semakin mendekat, Haikal dan teman-teman seangkatannya sudah dianggap pensiun dari kepaskibraan. Kini tugasnya untuk menyaksikan jalannya peringatan Hari Pahlawan, mengevaluasikan kekurangan.
Beberapa orang dari angkatannya bertugas mengambil dokumentasi, menaiki tangga hingga lantai tiga untuk mendapatkan foto yang terbaik. Sebagiannya lagi bersama paduan suara, bertugas mengringi lagu Mengheningkan Cipta. Sisanya, seperti Haikal, tetap berada di barisan kelas masing-masing.
“Bendera siap!” Ucap lantang pembentang kala itu.
“Kepada bendera Merah-Putih, hormat gerak!”
Tangan kanan naik menghampiri kepala, berhenti di ujung alis. Tegak, kokoh. Setidaknya untuk Haikal. Ia melihat sekelilingnya, tangan dan badan yang lemas, tidak ikhlas. Oh, tidak semuanya. Haikal mengenali anak-anak paskibra. Mereka menonjol dengan sikap hormat yang sempurna. Mereka mengerti betapa terhormatnya bendera.
Haikal menoleh ke atas, tempat tim dokumentasi berada. Rupanya  mereka telah berhenti mengambil foto. Mereka menghadap tiang bendera, tangan di samping kepala. Dan di barisan paduan suara, sama. Di saat para padus yang sebenarnya bernyanyi, teman-teman Haikal terlihat berdiri dengan sikap hormat. Haikal dan teman-temannya tidak kalah gagah dengan mereka yang tampil di depan.
Bendera sudah sampai di ujung tiang, berkibar mengikuti tiupan angin. Mata Haikal tidak bisa lepas darinya. Ia menarik napas, haru. Itulah bendera yang sama yang dulu dikibarkan oleh saudara-saudara seangkatannya. Ini lapangan yang sama yang dipakainya untuk berjam-jam latihan, dengan keringat yang mengucur. Bersama. Makan bersama, dihukum bersama, tidur bersama, panas-panasan bersama.
Tanpa disadari, sebuah air mata telah mengalir di pipinya.
“Lunaro,” Haikal tertawa bahagia. “Lunaro, upacara itu tidak hanya sekadar untuk masa lalu. Upacara menyambungkan sejarah dan sekarang, karena adanya perasaan yang sama. Cinta Indonesia. Bela negara. Berjuang mempertahankan kibaran Sang Saka. Dan untuk masa depan, cita-cita bersama. Indonesia terus jaya.
“Membela negara tidak harus dengan mengibarkan bendera, Ro. Bahkan tidak harus berprestasi besar-besaran. Cukup berapresiasi. Menghargai upacara bendera dengan melaksanakannya sebaik mungkin. Diam, perhatikan. Ada suatu hal yang belum pernah kamu rasakan, karena terlalu sibuk membencinya.
“Ingat, Ro, perjuangan yang paling susah bukanlah menghadapi penjajah, namun mempertahankan yang sudah jadi. Semakin zaman maju, semakin sejarah terlupakan. Negara ini butuh para pejuangnya, Ro. Tidak perlu melakukan perjuangan yang besar. Cukup menuntaskan bela negara bagian masing-masing.”



-Padmalya S., 11/22

Comments

  1. seneng bisa baca tulisan lo lagi❣️ simple tapi entah knp nenangin. baca kalimatnya haikal, berasa lg dengerin pemikiran lo sendiri. juga, rasanya gue dan 18 jadi bagian dari cerita ini ya? wkwkwk. sedih, bahagia, nostalgic, kangen!

    ReplyDelete
    Replies
    1. The best type of writing are those from our own experiences. Senang pernah menjadi bagian dari cerita-cerita terbaik dalam hidup kita masing-masing!

      Btw ini cuma buat disuruh sekolah waktu itu eheh✌

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

#dibuangsayang99

Ask Me

Life by Me: Welcome To Walker